Senin, 28 November 2016

Aksi 212


Ketika Jokowi memilih Jenderal Polisi Drs. H. M. Tito Karnavian, M.A., Ph.D  sebagai Kapolri, teman saya sempat berkata bahwa Santoso ( Teroris di Poso ) akan berhasil di ringkus. Benarlah hanya hitungan hari setelah dia di angkat sebagai Kapolri, Santoso berhasil di sergap oleh team gabungan. Santoso tewas di tempat.  Tentu tidak sembarangan mengapa Tito sampai di pilih Jokowi sebagai Kapolri. Dia termasuk perwira yang karirnya cepat sekali melesat. Prestasi yang sangat cemerlang yang di raihnya adalah ketika tahun 2001 berhasil menangkap Tommy Soeharto dan kemudian tahun 2005 berhasil meringkus gembong Teroris yang di kenal sangat licin yaitu Azahari Husin. Tahun 2007 ketika terjadi konplik Poso, Tito berhasil membongkar otak di balik konplik Poso itu dan sekaligus meredamnya. Tahun 2009 , Tito berhasil meringkus gembong teroris Noordin Muhammad Top. Ketika terjadi aksi di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat pada awal Januari 2016. Dengan pengalamannya yang mendalam soal terorisme, tak kurang dari 5 jam Ibukota sudah kembali di kuasai dan kondusif dan 7 tersangka sudah tertangkap.

Tito memang di kenal sebagai ahli operasi anti teror. Jabatan terlamanya adalah sebagai Komandan Densus 88. Keahliannya bukan saja berkelas lokal tapi international. Bebepara Akademi Kepolisian di luar negeri memintanya memberikan mata kuliah umum tentang anti teror. Atas dasar itulah Tito punya tugas penting di era Pemerintahan Jokowi sebagaimana katanya usai di lantik sebagai Kapolri bahwa kejahatan yang berimplikasi kontigensi, seperti terorisme dan konflik intoleransi akan menjadi fokus utamanya. Bagaimana menjadikan potensi besar Umat islam dapat di manfaatkan sebesar mungkin bagi pembangunan nasional dan menemukan solusi tepat mengatasi paham radikalisme dari segelintir umat Islam. Tantangan kedepan Indonesia sangat besar. Karena ancaman konplik global yang di picu oleh kelangkaan sumber daya akan Food, Energy and Water bisa saja menjadikan Indonesia sebagai target untuk di perebutkan. Dan potensi konplik di Indonesia walau itu sangat kecil namun sangat mudah menjadi ledakan besar. Apalagi di kemas dengan retorika agama yang membuat orang bisa terprovokasi menjadi mesin pengrusak persatuan dan kesatuan.

Jokowi tidak mungkin memusuhi ormas Islam. Karena secara politik Jokowi butuh kekuatan informal dari umat islam. Maklum karena  beliau bukan elite Partai dan bukan pula berasal dari Militer. Keberadaan kekuatan informal umat islam harus di jaganya sebaik mungkin  agar bisa menciptakan ke seimbangan dengan kekuatan formal yang ada. Namun membiarkan kekuatan radikal berada di tengah umat islam juga tidak menguntungkan bagi potensi umat islam itu sendiri yang di percaya sebagai benteng NKRI. Juga tidak mungkin karena segelintir umat islam yang radikal lantas menciptakan stigma bahwa setiap gerakan umat islam yang berbeda dengan pemerintah adalah musuh. Tentu tidak bijak. 

Masalahnya adalah, bagaimana caranya memisahkan dengan tegas kelompok paham radikal yang tak mungkin lagi di rangkul dan harus di hancurkan, mana yang radikal dan masih bisa di jinakan lewat persuasi, dan mana yang moderat dan harus di tingkatkan potensinya untuk ambil bagian dalam pembagunan nasional di segala bidang ? Tito memang ahlinya di bidang ini. Acara demo pada tanggal 2/12 nanti yang di dukung oleh Kapolri adalah salah satu bentuk ke piawaian Tito mendekati kekuatan radikal untuk kembali ke jalur yang di inginkan pemerintah. Dari rencana demo di Jalan Sudirman dan Thamrin bergeser ke Lapangan Monas, dengan di back up langsung oleh POLRI dan TNI. Boleh di katakan aksi demo kali ini sebagai tuan rumah adalah POLRI. Tentu aksi ini akan di jaga dengan ketat agar tidak sampai di masuki oleh provokator yang bisa menimbulkan kerusuhan. Bila aksi damai ini terjadi, maka citra indonesia di mata international akan terangkat dan pasti membuat dunia harus berpikir ulang untuk mengobok ngobok Indonesia dengan memanfaatkan issue SARA. 

Bagaimana dengan tuntutan agar Ahok di tangkap dan di penjara? Masalah ini saya yakin sudah selesai di persuasi oleh POLRI dan TNI untuk meyakinkan mereka bahwa tuntutan dengan pemaksaan kehendak itu , bisa saja di kabulkan. Tapi bagaimana dengan supremasi hukum sebagai dasar berdirinya sistem demokasi ? Ini bukan soal keberpihakan terhadap AHok atau tuntutan Umat islam tapi keberpihakan kepada supremasi hukum. Sekali Indonesia tunduk dengan kekuatan massa maka saat itu juga bukan hanya dunia meragukan kredibilitas pemerintah tapi juga kelompok islam moderat dan golongan minoritas juga tidak lagi merasa nyaman dan aman di bawah kepemimpinan Jokowi. Karena di nilai lemah. Sekali pemerintah di nilai lemah maka apapun kebijakan pemerintah tidak akan efektif lagi, Hanya  masalah waktu kekuasaan akan jatuh. Dan inilah sebetulnya target dari kelompok radikal di balik aksi demo belakangan ini.

Dalam upaya persuasi, Jokowi melakukan pendekatan kepada Elite partai, tokoh ulama, pimpinan ormas islam , agar semua dapat di dudukan pada tempatnya. Semua komponen bangsa bisa menerima sikap pemerintah bahwa hukum harus di hormati dan proses nya harus transfarance agar legitimasinya kuat di hadapan rakyat. Bagi pihak yang meragukan tekad pemerintah maka sikap pemerintah melalui TNI dan POLRI sangat jelas, bahwa siapapun yang mencoba melawan UU dan aturan dengan cara cara kekerasan maka itu sama saja berhadapan dengan TNI dan POLRI bersama sama dengan semua komponen bangsa. Semua berprinsip bahwa NKRI harga mati. 

Mungkin saja setelah 2/12  akan ada aksi demo susulan apabila tuntutan mereka tidak terpenuhi, karena Ahok di nyatakan bebas. Namun sikap mereka yang menolak itu sudah berada di kelompok radikal yang tak bisa lagi di persuasi maka mereka harus berhadapan dengan moncong senjata TNI dan POLRI. Dan Jokowi tidak akan berdamai dengan ini. Karena taruhannya adalah NKRI.  Terlalu mahal harga yang harus di bayar bila pemerinntah lemah dengan para pemaksa kehendak. Ingat bahwa satu satunya sifat teroris adalah mengancam untuk mencapai tujuan, Dan bila ancaman tidak di hiraukan maka mereka akan beraksi. POLRI di bawah Tito dan TNI di bawah pimpinan Gatot sangat menguasai peta kekuatan radikalisme di Indonesia dan paham sekali bagaimana cara menghadapi mereka. 

Yang jelas hikmah dari aksi bela islam ini adalah tanpa ramai ramai pada bulan november 2016 Pemerintah berhasil membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, setelah dua tahun molor sejak UU Halal di syahkan. Pemerintah berhasil merevisi UU ITE dengan memasukan pasal karet terhadap konten menyebarkan informasi yang bersifat tuduhan, fitnah, maupun SARA yang mengundang kebencian. Yang bisa dijerat bukan hanya yang membuat, tapi justru juga yang mendistribusikan dan mentransmisikannya. Saat sekarang sedang di bahas di DPR revisi : UU anti Teror dan UU Pilkada dan UU Minerba. Kemungkinan besar akan lolos dengan mudah di DPR. Apalagi kalau aksi bela islam III pada 2/12 mendatang jadi di laksanakan. Maka selanjutnya Pemerintah semakin kuat mengontrol kekuasaan dari segala issue SARA. Ormas yang radikal bisa langsung di bubarkan atau di tangkap pengurusnya bila di curigai. Kekuasaan negara terhadap SDA semakin besar untuk kepentingan nasional dan terdistribusi sesuai dengan otonomi daerah..

Jadi tidak perlu terlalu kawatir dengan aksi 2/12 yang rencananya melakukan sholat jumat berjamaah di Lapangan Monas. Memang ada resiko tapi  kita harus lakukan demi prinsip demokrasi. Dan demi terwujudnya perdamaian dan kesatuan dalam kebinekaan maka kita harus berjuang menyamakan visi antar anak bangsa, agar NKRI tetap utuh dan bermartabat , tempat tumpuan bagi anak bangsa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...