Jumat, 18 November 2016

Untuk Saudaraku : Habib Rizieq Syihab



Saudaraku Habib Rizieq Syihab 

Saya membayangkan kejadian tahun 1984 Orde baru ketika Peristiwa Tanjung Priok. Ketika itu jiwa muda saya terpanggil untuk menjemput sahid. Namun apa yang terjadi? setelah demo akbar seusai sholat jumat itu, malamnya tak terbilang jumlahnya umat islam yang berdemo di bantai oleh Tentara. Tak ada yang bisa memastikan jumlahnya. Namun sebuah pembenaran demi stabilitas politik, ekonomi dan keamaan, korban itu tidak di hitung. Dunia bisa memakluminya. Setelah itu, Ulama di curigai dan gerakan Islam semakin lemah. Tak sedikit saudara muslim kita di bunuh di era DOM Aceh. Dan di tempat lainnya. Satu demi satu ulama di jemput oleh Tentara, dan di penjara dengan keadilan ala kadarnya. Semua ceramah di masjid di sensor oleh rezim Soeharto. Waktu berlalu , kekuatan kita terus melemah. Bahkan banyak cendekiawan muslim memilih berkolaborasi dengan rezim Soeharto. Ketika ulama tak lagi di dengar dan di bungkam suaranya maka saat itulah Allah berkuasa dengan kehendakNya untuk mencabut kekuasaan seseorang. Pemicu Soeharto jatuh bukan karena demo kolosal umat islam, bukan karena ledakan bom para pengaku pengawal akidah. Bukan. Tapi karena Sorros ,  seorang psikopat pasar uang yang di gerakan hati oleh Allah untuk mengirim bomb hedge fund meledak di Indonesia. Ekonomi oleng. Pesawat yang hendak tinggal landas , akhirnya nyungsep di ujung landasan pacu. 

Menjelang Soeharto jatuh, tak nampak gerakan kolosal umat islam membawa bendera Islam di garis depan kecuali para mahasiswa menyabung nyawa menjatuhkan Soeharto. Bahkan kampus yang di dirikan oleh lembaga Trinitas melahirkan pahlawan reformasi. Mereka menang dan elite islam memanfaatkan situasi di tikungan. Kekuasaan akhirnya beralih kepada Elite Islam. Amin Rais ketua MPR dan Gus Dur , Presiden. Itu hanya sebentar. Gus Dur yang di dukung poros tengah partai Islam, di jatuhkan oleh sahabat seiring sejalannya. Selanjutnya sampai kini kita hanya jadi penonton karena selalu kalah dalam kancah demokrasi. Bahkan barisan ulama yang memback up seorang Jenderal mencalonkan diri sebagai presiden tak berdaya berhadapan dengan seorang muslim yang tak pakai sorban, yang di dukung seorang wanita. Nampak nya ya saudaraku, umat tidak tertarik dengan jargon utopia syariah islam bisa mensejahterakan negeri ini. Mengapa ? hanya Allah yang tahu. Bukankah kekuasaan itu milik Allah dan hanya di berikan kepada orang yang di kehendakiNYA. 

Saudaraku Habib Rizieq Syihab 

Kalau ingat era Soeharto , sekarang perjuangan menegakan keyakinan terasa mendapatkan ruang yang lebar. Ketika demo 411, pidatomu ya saudaraku, diatas panggung dengan gema asma Allah membuat saya terhenyak.  Apalagi gerakan umat islam berbaris rapi dengan semangat apokalipse membela fatwa Ulama, dengan cara damai, seakan cahaya langit memenuhi bumi Indonesia. Inilah sebetulnya ujud agama Tauhid membuat negeri ini selalu di rahmati Allah: cahaya kedamaian. Namun ternodakan kesantunan Agama Allah oleh suara mencerca Presiden yang juga saudara muslim kita, dan bahkan sempai sekarang terus terdengar. Saat sekarang lewat sosial media dan media massa, mencerca Presiden dapat di lakukan dengan gampang. Suara itu tak membuat siapapun di tangkap seperti era Soehato, atau di jebloskan ke dalam sel pengap seperti rezim komunis di China, atau di pancung seperti hukum di kerajaan Arab atau di penjara secara berjamaah seperti di Turki di bawah rezim Erdogan atau seperti di Mesir. Di tanah air ini, seperti, seorang pelaku teror di elu elukan sebagai suhada, bandar narkoba di hukum mati namun mendapat simpati luas. Koruptor , pelaku teror boleh di kunjungi ramai-ramai, di potret, di dampingi pembela, tak di anggap bersalah sebelum hakim tertinggi memutuskan, dapat kesempatan membuat maklumat, bahkan mengecam Kepala Negara. 

Di negeri ini proses keadilan secara formal di lakukan dengan hati-hati—karena para polisi, jaksa, dan hakim di haruskan berendah hati dan beradab. Berendah hati: mereka secara bersama atau masing-masing tak boleh meletakkan diri sebagai yang mahatahu dan mahaadil. Beradab: karena dengan kerendahan hati itu, orang yang tertuduh tetap di akui haknya untuk membela diri; ia bukan hewan untuk korban. Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara ku, sebab itu pelik. Ia tak bisa di gampangkan. Ia tak bisa di serahkan mutlak kepada hakim, jaksa, polisi—juga tak bisa di gantungkan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang mana pun. Keadilan yang sebenarnya tak di tangan manusia. Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percaya kepada yang tak alang kepalang dekatnya dengan kita bahkan lebih dekat dari urat leher kita. Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak dapat kita capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah keredah hatian di hadapan Tuhan. Iman membentuk, dan di bentuk, sebuah etika kedaifan. Di negeri dengan 250 juta orang ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai di 17 ribu pulau ini, tak ada sikap yang lebih tepat ketimbang bertolak dari kesadaran bahwa kita daif. Kemampuan kita untuk membuat 250 juta orang tanpa konflik sangat terbatas. Maka amat penting untuk punya cara terbaik mengelola sengketa. Berdamailah dengan kenyataan  saudaraku. Bukankah perdamaian itu mendekatkan kita kepada pada takwa. 

Saudaraku Habib Rizieq Syihab 

Sejarah Indonesia tidak bebas dari konflik dengan kekerasan. Sejarah kita menyaksikan pemberontakan Darul Islam sejak Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan 1960-an. Sejarah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998, konflik antargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di Aceh dan Papua, sampai dengan pembunuhan atas pejuang hak asasi manusia, Munir. Ingatkah, Saudara ku, semua itu? Ingatkah Saudara berapa besar korban yang jatuh dan kerusakan yang berlanjut karena kita menyelesaikan sengketa dengan benci, kekerasan, dan sikap memandang diri paling benar? Saudaraku sayang… kita sama sama tahu bahwa negeri ini merdeka berkat rahmat Allah, tentu tugas kita merawat rahmat itu.

Ya, merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama halnya dengan meniscayakan sebuah sistem yang selalu terbuka bagi tiap usaha yang berbeda untuk memperbaiki keadaan. Indonesia yang rumit ini saudaraku, tak mungkin berilusi ada sebuah sistem yang sempurna. Sistem yang merasa diri sempurna—dengan mengklaim diri sebagai buatan Tuhan—akan tertutup bagi koreksi, sementara kita tahu, di Indonesia kita tak hidup di surga yang tak perlu di koreksi. Itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila di rumuskan. Demokrasi mengakui kedaifan manusia tapi juga hak-hak asasinya—dan itulah berkah yang luar biasa yang membuat Saudara dan lainnya tak dipancung karena mengecam Kepala Negara.

Dan Pancasila, Saudaraku, yang bukan wahyu dari langit, adalah buah sejarah dan geografi tanah air ini—di mana perbedaan diakui, karena kebhinekaan itu takdir kita, tapi di mana kerja bersama di perlukan. Saya tahu bahwa saudara tetap sulit menerima ulaha Soekarno yang menghapus 7 kata pada sila pertama Pancasila. Tapi baiklah saya ulang lagi sikap Soekarno untuk kita renungkan dan berdamai dengan kenyataan itu juga tidak salah. Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik dari tradisi lokal, ”gotong-royong”. Kata itu kini telah terlalu sering di pakai dan di salahgunakan, tapi sebenarnya ada yang menarik yang dikatakan Bung Karno: ”gotong-royong” itu ”paham yang dinamis,” lebih dinamis ketimbang ”kekeluargaan”.

Artinya, ”gotong-royong” mengandung kemungkinan berubah-ubah cara dan prosesnya, dan pesertanya tak harus tetap dari mereka yang satu ikatan primordial, ikatan ”kekeluargaan”. Sebab, ada tujuan yang universal, yang bisa mengimbau hati dan pikiran siapa saja—”yang kaya dan yang tidak kaya,” kata Bung Karno, ”yang Islam dan yang Kristen”, ”yang bukan Indonesia tulen dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.” ”Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab, sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa nama Tuhan—atau justru karena membawa nama Tuhan—siapa pun, juga engakau saudaraku juga yang lain, tak boleh mengutamakan yang di sebut Bung Karno sebagai ”egoisme-agama.”

Kita semua tahu bahwa Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno pun kita tahu, tanah air ini akan jadi tempat yang mengerikan jika ”egoisme” itu di kobarkan. Pesan Bung Karno patut kita dengarkan kembali: ”Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. " Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, beribadah tanpa rasa takut, tanpa di halangi, kebebasan menyuarakan kebenaran illahiah di setiap masjid yang terus bertambah, tanpa takut di penjara karena berbeda sikap dengan pemerintah, tanpa ada yang menghambat untuk kaya raya. Ataukah bagi Saudara ia tak punya arti apa-apa karena agenda lain ? Saudaraku. Aku ingin 10 tahun lagi kita masih di beri umur untuk menyaksikan Indonesia hebat , terhormat di mata dunia dan menjadi marcusuar dunia bagaimana seharusnya peradaban di bangun atas dasar akhlakul karimah, walau tanpa harus menjadi Negara Islam. 

Udahan demonya ya sayang. Kita tidak hidup di era Soeharto. Kini kita menikmati angin kebebasan, di bawah pemimpin yang berhati lembut, yang tak membuat orang di penjara karena berbeda dengannya. Bahkan ustadz yang berbeda bisa menjadi selebritis, di puja banyak orang. Mari perkuat gotong royong membangun kekuatan umat dari sisi ekonomi agar kita bisa membela agama dengan cara terhormat dan smart, menciptakan keadilan sosial bagi semua, dan menjadi pencerah bahwa islam itu rahmat bagi semua, yang tak lagi menadahkan tangan untuk makan dan kesejahteraan di raih dengan mudah karena sunatullah. Salam hormat dan doa terbaik untuk saudaraku Habib Rizieq Syihab , selalu. Maafkan daku kalau ada salah dalam tulisan ini. 

2 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...